Salah satu rekomendasi Tim 9 kepada Presiden jokowi ialah tidak melantik calon Kapolri yang bersatus tersangka, Jakarta, Rabu (28/1/2015) |
. Jakarta - Langkah Presiden Joko Widodo atau Jokowi
membentuk Tim Independen atau Tim 9 telah menambah tekanan dari partai politik.
Tim yang bertugas memberikan masukan kepada Presiden untuk menuntaskan
perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik
Indonesia (Polri) telah menjadi 'musuh' baru kelompok yang ingin Komjen Pol
Budi Gunawan dilantik sebagai Kapolri.
Namun, sulit untuk menyepelekan rekomendasi Tim 9, karena
nama-nama yang ada di tim ini layak untuk didengar. Selain diisi oleh
tokoh-tokoh yang diakui integritasnya, 9 tokoh yang ada di tim ini bukan dari
kalangan partai politik, sehingga diyakini sangat kecil kecenderungan untuk
bisa dipengaruhi oleh kepentingan sesaat.
9 Anggota tim tersebut adalah mantan Ketua Umum Pengurus
Pusat Muhammadiyah Syafii Maarif, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly
Asshiddiqie, mantan Wakapolri Komjen Pol (Purnawirawan) Oegroseno, Guru Besar
Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana, pengamat kepolisian Bambang Widodo
Umar, mantan pimpinan KPK Tumpak Hatorangan Panggabean dan Erry Riyana Hardjapamekas,
sosiolog Imam Prasodjo dan mantan Kapolri Jenderal Purn Sutanto.
Ketika baru dibentuk, tim ini tidak begitu dipermasalahkan.
Semuanya berubah ketika Tim 9 bertemu Jokowi di Istana Negara pada Kamis 28
Januari kemarin untuk menyampaikan rekomendasi mereka. Penolakan dan tudingan
bahwa keberadaan tim ini ilegal mulai mengemuka. Padahal, Jokowi sendiri selaku
Presiden belum bereaksi apa-apa atas rekomendasi itu.
Ketegangan di Wajah Jokowi
Rekomendasi sendiri disampaikan Tim 9 saat memenuhi
panggilan Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Rabu 28 Januari 2015. Salah satu
anggota Tim 9, Imam Prasodjo membeberkan apa yang terjadi dalam pertemuan
tersebut.
"Pada siang itu, melalui Mensesneg Pratikno, kami
datang ke Istana Negara memenuhi undangan Presiden berdialog dan bertukar
pikiran tentang upaya mengatasi kemelut yang mendera negeri ini," ungkap
Imam dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com di Jakarta, Kamis
(29/1/2015).
Kemelut yang tengah menjadi perhatian publik itu, ungkap
dia, terkait konflik antarlembaga penegak hukum, KPK dan Polri, yang kini
terlihat semakin rumit, saling menyandera dan kait mengait melebar ke
mana-mana. Masalah itu menjadi rumit karena memasuki ranah hukum, politik,
moral, etika, dan nurani rakyat yang menginginkan Indonesia bersih dan bebas
dari korupsi.
"Hari menjelang siang itu, sekitar jam 10.30 kami
menunggu di suatu ruang di Istana. Hadir Pak Syafii Maarif, Jimly Asshiddiqie,
Oegroseno, Erry Riana Harjapamekas, Bambang Widodo Umar, dan Tumpak Hatorangan
Panggabean," papar Imam.
Saat itu, sambung dia, telah ada di ruangan sejumlah anggota
Wantimpres yang rupanya juga tengah menunggu untuk bertemu dengan Presiden.
Mereka dijadwalkan bertemu terlebih dahulu. "Saya terpikir, kehadiran
Watimpres ini jelas merupakan jawaban Presiden Jokowi terhadap pihak yang
mengkritik mengapa Presiden Jokowi terkesan mengedepankan Tim Independen
daripada Wantimpres dalam mencari solusi untuk mengatasi permasalah ini. Karena
itu, bisa jadi Presiden kemudian juga meminta saran dari Watimpres."
Sekitar jam 11.30, lanjut Imam, akhirnya tim memasuki
ruangan pertemuan. Hanya dengan ditemani Mensesneg Pratikno, Presiden Jokowi
menemui tim di ruang tertutup.
"Dalam pertemuan itu, setelah menyalami kami satu per
satu, Presiden Jokowi mencoba basa basi dengan berceritera kegiatan yang ia
lakukan akhir-akhir ini yang tentu sangat melelahkan. 'Untung saya mudah tidur.
Di manapun saya pargi, setelah 30 menit saya dapat tidur pulas,' kata Presiden.
Ia tampak mencoba relaks walau pun saya melihat dari raut mukanya ada
ketegangan yang tersembunyi dalam pertemuan ini," beber Imam.
Imam Prasodjo melanjutkan, akhirnya Syafii Maarif membuka
pembicaraan sesuai dengan tujuan kehadiran kami. Syafii memulai dengan
menanyakan apa yang menjadi pikiran Presiden sebenarnya akhir akhir ini dan apa
yang bisa tim bantu.
"Dengan sedikit menarik nafas panjang, Presiden
menjelaskan duduk soal yang menjadi bahan pemikirannya. Ini terkait dengan
dilemma yang tengah ia hadapi terkait Calon Kapolri yang telah ditetapkan tersangka
oleh KPK, dan masalah yang tengah dihadapi KPK. Dalam upaya Presiden mencari
jalan keluar, jelas sekali komitmen Presiden bahwa apa pun yang akan ia
putuskan akan tetap mengacu koridor hukum," ungkap dia.
Namun pada saat yang sama, sambung Imam, Jokowi juga tak
dapat mengabaikan realitas politik yang ia harus hadapi, baik dari kalangan
internal partai pendukung maupun partai di parlemen pada umumnya. Dialog mulai berjalan menghangat dan
intensif, dan masing-masing dari kami mencoba sumbang saran. Seperti ngobrol
biasa, arus komunikasi berjalan timbal balik. "Saya merasakan perbedaan
jelas jika dibanding dengan pola komunikasi semasa Presiden SBY yang lebih
formal, agak kaku, dan searah," imbuh dia.
5 Rekomendasi Tim 9
Pada pertemuan itu, Tim 9 menyerahkan 5 rekomendasi kepada
Jokowi terkait kisruh Polri dan KPK. Rekomendasi itu adalah:
a. Presiden seyogyanya memberikan kepastian kepada siapapun
penegak hukum yang berstatus tersangka untuk mengundurkan diri demi menjaga
marwah baik Polri maupun KPK.
b. Presiden seyogyanya tidak melantik calon Kapolri sebagai
tersangka dan mempertimbangkan kembali untuk mengusulkan calon baru Kapolri,
agar institusi Polri segera mendapat calon Kapolri yang definitif.
c. Presiden seyogyanya menghentikan segala upaya yang diduga
kriminalisasi personel penegak hukum siapa pun, baik Polri maupun KPK dan
masyarakat pada umumnuya
d. Presiden seyogyanya memerintahkan kepada Polri maupun KPK
menegakkan kode etik terhadap pelanggaran etika profesi yang diduga dilakukan
personel Polri atau KPK.
e. Presiden agar menegaskan kembali komitmennya terhadap
pemberantasan korupsi dan penegakan hukum pada umumnya sesuai harapan
masyarakat luas.
Jokowi sendiri mengakui telah menerima usulan dan
rekomendasi dari Tim 9 terkait solusi menangani kisruh antara KPK dan Polri
yang masih memanas. Namun, Jokowi meminta publik bersabar dan menunggu
keputusan yang akan diambilnya untuk menyelesaikan kekisruhan tersebut.
"Masukan dari Tim 9 ada, dari Wantimpres ada, nanti
suatu saat akan diputuskan. Nanti ditunggu. Sabar," ujar Jokowi usai
menerima Prabowo Subianto di Istana Bogor Jawa Barat, Kamis (29/1/2015) petang.
Jokowi mengaku membutuhkan waktu untuk memikirkan langkah
dan upaya yang harus diambil untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Sebab,
keputusan yang diambilnya harus tepat. "Sudah saya tampung, tapi jangan
dikejar-kejar, nanti tunggu waktu," singkat Jokowi.
Penolakan Parpol Penyokong
Namun, belum lagi Presiden mengeluarkan keputusan, penentangan
terhadap rekomendasi Tim 9 mulai berdatangan. Bahkan, termasuk dari politisi
partai politik penyokong Jokowi, Pramono Anung dari PDIP.
Dalam sarannya kepada Presiden, Pramono meminta Jokowi tidak
menjalankan rekomendasi Tim 9 yang dibentuk untuk menyelesaikan konflik antara
KPK dan Polri.
"Jangan dengarkan tim independen, mereka (Tim 9) belum
punya Keppres, atas dasar apa mereka bekerja? Ini urusan negara, bukan urusan
perseorangan," kata Pramono di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis
(29/1/2015).
Dari pada mendengarkan rekomendasi Tim 9, menurut Pramono,
akan jauh lebih baik bila Jokowi mendengarkan rekomendasi dari seluruh pimpinan
lembaga tinggi negara. Pramono meyakini para pimpinan lembaga tinggi negara
seperti DPR, DPD, Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan Mahkamah Konstitusi,
bisa memberikan masukan yang terbaik.
"Ini persoalan kenegaraan. Presiden sebagai kepala
negara gunakan instrumen untuk cari masukan yang benar. Seperti SBY, ketika ada
persoalan, lembaga tinggi negara kumpul cari solusi," ujar dia.
Hal tersebut, jelas Pramono, bukan bermaksud untuk tidak
menghormati Tim 9. Namun lebih kepada bagaimana Jokowi sebagai Presiden
mengedapankan instrumen negara yang ada. "Bukan saya tak respect dengan
Tim 9, tapi bagaimana pun dengarkan lembaga tinggi negara," ucap Pramono.
Tak hanya PDIP, Partai NasDem melalui Sekretaris Jenderal
Patrice Rio Capella juga menuding Tim 9 yang dibentuk Jokowi sebenarnya telah
menekan Presiden.
"Tim Sembilan itu menurut saya sebelum menyatakan
kepada publik harusnya disampaikan dulu kepada Presiden, sehingga tidak
memberikan tekanan kepada Presiden. Jadi bukan parpol yang menekan dan bukan
Pak Surya Paloh yang juga ikut menekan," ujar Rio Capella dalam sebuah
diskusi di Menteng, Jakarta, Kamis (29/1/2015).
Karena itu dirinya meminta Presiden Jokowi benar-benar
diberi ruang agar bisa mengambil tempat terbaik untuk Budi Gunawan.
"Seharusnya diberikan ruang ketenangan bagi Presiden dalam mengambil
keputusan terkait posisi Budi Gunawan," tegas Rio.
Dirinya juga menyerahkan sepenuhnya kepada Jokowi untuk
mengambil keputusan yang terbaik. "Melantik atau tidak melantik itu hak
Presiden. DPR sudah tak ada urusannya lagi. Tinggal Presiden mengajukan kembali
atau tidak. Jika memang tidak dilantik maka harus memberikan alasannya seperti
apa," pungkas Rio.
Kini semuanya terpulang pada Jokowi karena semua pihak telah
bicara. Politisi, partai politik, pengamat, tokoh, praktisi hukum, petinggi
lembaga hukum, hingga orang awam sudah mengeluarkan buah pikirannya untuk
menjadi pertimbangan bagi Presiden mengambil keputusan.
0 comments:
Post a Comment