Tengoklah menara Syah Bandar di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara. Menara pantau peninggalan zaman Belanda itu kini terlihat miring. Sekarang lebih dikenal dengan sebutan menara miring. Penyebabnya bukan lantaran pondasinya ambles, namun muka tanah di daerah itu turun.
Lalu lihat juga Kampung Apung di Jakarta Barat. Kampung terletak di Kelurahan Kapuk Muara ini mulai tergenang air laut sejak awal 1990. Padahal sebelum tergenang air laut, nama daerah itu dikenal Kampung Teko.
Berdasarkan penelitian dilakukan oleh Amrta Institute, selama 1982 hingga 1997 daerah cengkareng mengalami ambles tanah lebih dari 160 sentimeter. Ketinggian air di Kampung Teko kini lebih dari 150 sentimeter. "Penurunan itu telah menyebabkan dua bayi tenggelam," kata Siti Badriah Syarif, peneliti dari Amrta Institute for Water Literacy, saat dihubungi merdeka.com melalui telepon selulernya beberapa waktu lalu.
Siti mengatakan penurunan permukaan tanah lebih terasa di Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Dua wilayah ini merupakan pesisir ibu kota terus mengalami ambles hingga saat ini.
Dalam Peta Amblesan Tanah di DKI Jakarta bikinan Badan Geologi pada 2009, pada 1982 hingga 1997 terjadi penurunan tanah lebih dari 180 sentimeter di daerah Cengkareng, Kapuk, dan Penjaringan. Wilayah Jakarta Utara dan Jakarta Pusat juga masuk area kritis dengan penurunan tanah lebih dari 120 sentimeter. Penurunan itu terjadi di Sunter, Cempaka Putih, dan Kemayoran.
Akibat penurunan itu bangunan, rumah-rumah warga, dan infrastuktur lainnya ambles. Bukti otentik penurunan muka tanah itu terlihat jelas di Kampung Teko. Hampir setengah warga tinggal di RT 10/ RW 1, Kampung Teko, Kelurahan Kapuk, Jakarta Barat, menaikkan rumahnya dengan bahan dasar kayu. Banyak pula rumah di daerah ini berada di bawah badan jalan.
Siti menjelaskan penurunan muka tanah bukan hanya terjadi di Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan mengalami hal serupa. "Rumah berada di bawah badan jalan tidak mampu beradaptasi dengan penurunan muka tanah dan risiko banjir banyak ditemukan di Jakarta," ujarnya.
Penelitian oleh Kelompok Keilmuan Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB) di 23 titik di sekitar Jakarta menemukan penurunan permukaan tanah beragam, mulai dua sentimeter hingga lebih dari 12 sentimeter selama 1997 sampai 2007.
Seperti dikutip dari materi diskusi Pengelolaan air dan pemanfaatan air tanah di Jakarta serta kaitannya dengan banjir oleh Firdaus Ali dari Indonesia Water Institute, kecepatan penurunan muka tanah di Jakarta pada 2007-2008 mulai dari 17 sampai 26 sentimeter. Penurunan ini terjadi di Jakarta Barat dan Jakarta Utara.
Siti mengatakan amblesan tanah di Jakarta tidak dapat dilihat dalam waktu seketika namun memiliki dampak negatif. Contohnya banjir di Jakarta kerap terjadi dan daerahnya terus meluas. "Luasan wilayah banjir di Jakarta terus bertambah," ujarnya.
0 comments:
Post a Comment