Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menginstruksikan kepada badan usaha pelaksana penyediaan dan pendistribusian bahan bakar bersubsidi untuk tidak mendistribusikan BBM jenis solar di wilayah tertentu yang ditengarai rawan penyalahgunaan. Ketentuan itu berlaku mulai pukul 18.00 hingga 06.00 WIB.
Pengendalian BBM bersubsidi ini berlaku mulai 4 Agustus 2014. Bahkan, untuk wilayah Jakarta Pusat, pembatasan ini sudah diterapkan pada 1 Agustus 2014.
Komisioner BPH Migas, Ibrahim Hasyim, dalam keterangan tertulis akhir pekan lalu, mengatakan, kebijakan itu sebagai upaya pengendalian yang dilakukan untuk menghindari jebolnya kuota BBM bersubsidi, yaitu premium dan solar.
"Pengendalian merupakan respons dari penetapan kuota BBM bersubsidi di APBNP 2014 yang turun dari 48 juta kiloliter (KL) menjadi 46 juta KL," kata Ibrahim.
BPH Migas akan memperketat penjualan solar di wilayah tertentu seperti daerah-daerah perindustrian, perkebunan, dan pertambangan. Ketika dihubungi VIVAnews pada Jumat, 1 Agustus 2014, Ibrahim mengatakan daerah-daerah itu rentan terjadi penyalahgunaan solar bersubsidi, terutama pada malam hari.
"Jangan sampai minyak yang pas-pasan diambil sama orang tidak bertanggung jawab," kata dia.
Ibrahim melanjutkan, pengendalian ini berhasil dilakukan di daerah Batam. Di sana, penjualan solar bersubsidi dibatasi waktunya, pukul 07.00-17.00 WIB setiap harinya. "Lancar-lancar saja. Yang penting, masyarakat tahu kebijakan ini," kata dia.
Meski demikian, ada sejumlah wilayah yang menjadi pengecualian kebijakan BPH Migas terkait pembatasan penjualan solar bersubsidi, yakni di daerah yang menjadi jalur distribusi logistik.
“Yang dikecualikan adalah SPBU di jalur utama logistik, yaitu lintas Sumatera dan Pantura Jawa. Sebab khawatir mengganggu perekonomian dan suplai sembako bagi masyarakat,” kata Vice President Corporate Communication PT Pertamina, Ali Mundakir.
Untuk wilayah-wilayah yang sudah menerapkan pembatasan ataupun pengaturan waktu seperti Batam, Bangka Belitung, serta sebagian besar Kalimantan, aturan akan diterapkan sesuai ketentuan Pemerintah Daerah setempat.
Tak hanya solar di sektor transportasi, mulai 4 Agustus 2014, alokasi solar bersubsidi untuk Lembaga Penyalur Nelayan (SPBB/SPBN/SPDN/APMS) juga akan dipotong sebesar 20 persen dan penyalurannya mengutamakan kapal nelayan di bawah 30 GT.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Jero Wacik, mengatakan, jika tidak dilakukan pengendalian BBM bersubsidi jenis solar, kuota akan habis pada November mendatang.
"Akibatnya, pada Desember tidak ada BBM subsidi lagi," ujar Wacik di gedung Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa, 5 Agustus 2014.
Untuk itu, Wacik memaparkan, kuota BBM bersubsidi harus dibatasi atau setidaknya cukup hingga 20 hari terakhir 2014. Sebab, nantinya akan ada jatah kuota baru di awal 2015.
Selain itu, ia menambahkan, untuk SPBU tertentu seperti di kawasan industri, pertambangan, dan perkebunan, pengendalian akan lebih difokuskan. Sebab di wilayah tersebut rawan terjadinya penyalahgunaan solar bersubsidi seperti di Batam dan Kalimantan.
Sementara itu, dia melanjutkan, SPBU yang terletak di jalur utama distribusi logistik, tidak dilakukan pembatasan waktu penjualan solar. "Di seluruh Indonesia hanya 5-12 persen SPBU yang menerapkan pengendalian solar bersubsidi. Jadi, masyarakat jangan panik,' ujarnya.
Siapa Dirugikan?
Kebijakan pembatasan penjualan solar bersubsidi itu pun langsung menuai respons dari Organda. Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Organda, Andriyansah, menuturkan, pembatasan BBM bersubsidi berjenis bahan bakar solar dapat berdampak besar terhadap operasional transportasi angkutan umum bus.
"Dampaknya cukup besar. Mereka membutuhkan solar bersubsidi. Ongkos bus dihitung dari tarif solar bersubsidi," ujar Andriyansah di Kementerian Perhubungan Jakarta, Selasa, 5 Agustus 2014.
Selain itu, Andriyansah menilai, pembatasan waktu penjualan BBM bersubsidi jenis solar dari pukul 08.00 hingga 18.00 WIB tidak tepat. Sebab angkutan umum bus beroperasi selama 24 Jam.
"Di dalam kebijakan terdapat pembatasan jam penjualan. Ada tarif siang dan tarif malam. Sementara, bus tidak mungkin mengisi bahan bakar satu kali, sebab angkutan beroperasi 24 jam," tuturnya.
Andriyansah melanjutkan, terkait keterbatasan waktu tersebut harus dipahami oleh pengambil kebijakan. Sebab, dinilai kurang sesuai dengan jarak tempuh transportasi angkutan umum.
Ia mencontohkan, bus penumpang mengisi maksimum 200 sampai 250 liter dengan jarak tempuh 600-700 kilometer dengan waktu tempuh minimal 8 jam. Jika bus berangkat pada pukul 15.00 WIB, otomatis harus mengisi malam.
"Jika tidak ada BBM bersubsidi bagaimana?" tuturnya.
Ardiyansah mengimbau agar kebijakan pengendalian BBM bersubsidi dilakukan perbaikan atau direvisi kembali dengan tujuan membantu masyarakat yang lebih membutuhkan. Ia mengungkapkan, seharusnya pemerintah membatasi penjualan premium yang lebih banyak digunakan oleh kendaraan pribadi.
Sementara itu, untuk solar, konsumennya lebih banyak para kendaraan umum yang melayani masyarakat kecil dan menengah.
Wakil Ketua Umum Bidang Pemberdayaan Daerah Kadin Indonesia, Natsir Mansyur, menilai bahwa kebijakan pembatasan subsidi BBM kurang tepat bagi pelaku usaha jika tidak dibicarakan sebelumnya.
"Bukan hanya berdampak pada transportasi angkutan umum, tapi juga pada harga barang, investasi, dan pengurangan jam kerja," ujar Natsir.
Natsir berharap agar kebijakan ini dicabut terlebih dahulu dan kembali dibicarakan dengan pelaku usaha. Natsir berpendapat, para pelaku usaha akan mengerti kesulitan pemerintah dalam mengendalikan BBM bersubsidi.
Untuk itu, dia menjelaskan, Kadin siap jika kebijakan ini dibicarakan kembali atau dilakukan relaksasi selama kurun waktu satu hingga dua pekan.
Selain itu, Natsir mengatakan, tidak meratanya pengendalian BBM bersubsidi di Indonesia dikhawatirkan terjadinya kerusuhan. "Jangan dilakukan radikal begini. Syoknya terlalu cepat," imbuhnya.
Menurut Natsir, pengendalian BBM bersubsidi bukanlah urusan BPH Migas dan Pertamina, melainkan otoritas menteri hingga presiden. Sebab, ini terkait pengurangan anggaran negara dalam APBN.
"Jika dibenturkan oleh BPH Migas, Pertamina, dan pelaku usaha tidak akan menyelesaikan masalah," tuturnya.
Namun, Kepala BPH Migas, Andy Noorsaman Sommeng, mengatakan, sebenarnya tidak ada yang dirugikan dengan pengendalian solar bersubsidi, seperti di Jakarta Pusat. Menurut dia, angkutan umum bisa mengisinya di tempat lain sesuai waktu yang ditentukan.
"Tidak ada yang dirugikan, kok. Mereka kan bisa mengisi solar di tempat lain," katanya.
Andy mencontohkan bahwa pengaturan SPBU di Jakarta Pusat tidak boleh menjual solar bersubsidi masih dicoba hingga akhir tahun. "Kalau nanti Organda minta penjelasan, ya, kami akan menjelaskan. Yang penting, mereka kan bisa dilayani di SPBU lain," lanjut Andy.
Pengendalian BBM bersubsidi ini berlaku mulai 4 Agustus 2014. Bahkan, untuk wilayah Jakarta Pusat, pembatasan ini sudah diterapkan pada 1 Agustus 2014.
Komisioner BPH Migas, Ibrahim Hasyim, dalam keterangan tertulis akhir pekan lalu, mengatakan, kebijakan itu sebagai upaya pengendalian yang dilakukan untuk menghindari jebolnya kuota BBM bersubsidi, yaitu premium dan solar.
"Pengendalian merupakan respons dari penetapan kuota BBM bersubsidi di APBNP 2014 yang turun dari 48 juta kiloliter (KL) menjadi 46 juta KL," kata Ibrahim.
BPH Migas akan memperketat penjualan solar di wilayah tertentu seperti daerah-daerah perindustrian, perkebunan, dan pertambangan. Ketika dihubungi VIVAnews pada Jumat, 1 Agustus 2014, Ibrahim mengatakan daerah-daerah itu rentan terjadi penyalahgunaan solar bersubsidi, terutama pada malam hari.
"Jangan sampai minyak yang pas-pasan diambil sama orang tidak bertanggung jawab," kata dia.
Ibrahim melanjutkan, pengendalian ini berhasil dilakukan di daerah Batam. Di sana, penjualan solar bersubsidi dibatasi waktunya, pukul 07.00-17.00 WIB setiap harinya. "Lancar-lancar saja. Yang penting, masyarakat tahu kebijakan ini," kata dia.
Meski demikian, ada sejumlah wilayah yang menjadi pengecualian kebijakan BPH Migas terkait pembatasan penjualan solar bersubsidi, yakni di daerah yang menjadi jalur distribusi logistik.
“Yang dikecualikan adalah SPBU di jalur utama logistik, yaitu lintas Sumatera dan Pantura Jawa. Sebab khawatir mengganggu perekonomian dan suplai sembako bagi masyarakat,” kata Vice President Corporate Communication PT Pertamina, Ali Mundakir.
Untuk wilayah-wilayah yang sudah menerapkan pembatasan ataupun pengaturan waktu seperti Batam, Bangka Belitung, serta sebagian besar Kalimantan, aturan akan diterapkan sesuai ketentuan Pemerintah Daerah setempat.
Tak hanya solar di sektor transportasi, mulai 4 Agustus 2014, alokasi solar bersubsidi untuk Lembaga Penyalur Nelayan (SPBB/SPBN/SPDN/APMS) juga akan dipotong sebesar 20 persen dan penyalurannya mengutamakan kapal nelayan di bawah 30 GT.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Jero Wacik, mengatakan, jika tidak dilakukan pengendalian BBM bersubsidi jenis solar, kuota akan habis pada November mendatang.
"Akibatnya, pada Desember tidak ada BBM subsidi lagi," ujar Wacik di gedung Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa, 5 Agustus 2014.
Untuk itu, Wacik memaparkan, kuota BBM bersubsidi harus dibatasi atau setidaknya cukup hingga 20 hari terakhir 2014. Sebab, nantinya akan ada jatah kuota baru di awal 2015.
Selain itu, ia menambahkan, untuk SPBU tertentu seperti di kawasan industri, pertambangan, dan perkebunan, pengendalian akan lebih difokuskan. Sebab di wilayah tersebut rawan terjadinya penyalahgunaan solar bersubsidi seperti di Batam dan Kalimantan.
Sementara itu, dia melanjutkan, SPBU yang terletak di jalur utama distribusi logistik, tidak dilakukan pembatasan waktu penjualan solar. "Di seluruh Indonesia hanya 5-12 persen SPBU yang menerapkan pengendalian solar bersubsidi. Jadi, masyarakat jangan panik,' ujarnya.
Siapa Dirugikan?
Kebijakan pembatasan penjualan solar bersubsidi itu pun langsung menuai respons dari Organda. Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Organda, Andriyansah, menuturkan, pembatasan BBM bersubsidi berjenis bahan bakar solar dapat berdampak besar terhadap operasional transportasi angkutan umum bus.
"Dampaknya cukup besar. Mereka membutuhkan solar bersubsidi. Ongkos bus dihitung dari tarif solar bersubsidi," ujar Andriyansah di Kementerian Perhubungan Jakarta, Selasa, 5 Agustus 2014.
Selain itu, Andriyansah menilai, pembatasan waktu penjualan BBM bersubsidi jenis solar dari pukul 08.00 hingga 18.00 WIB tidak tepat. Sebab angkutan umum bus beroperasi selama 24 Jam.
"Di dalam kebijakan terdapat pembatasan jam penjualan. Ada tarif siang dan tarif malam. Sementara, bus tidak mungkin mengisi bahan bakar satu kali, sebab angkutan beroperasi 24 jam," tuturnya.
Andriyansah melanjutkan, terkait keterbatasan waktu tersebut harus dipahami oleh pengambil kebijakan. Sebab, dinilai kurang sesuai dengan jarak tempuh transportasi angkutan umum.
Ia mencontohkan, bus penumpang mengisi maksimum 200 sampai 250 liter dengan jarak tempuh 600-700 kilometer dengan waktu tempuh minimal 8 jam. Jika bus berangkat pada pukul 15.00 WIB, otomatis harus mengisi malam.
"Jika tidak ada BBM bersubsidi bagaimana?" tuturnya.
Ardiyansah mengimbau agar kebijakan pengendalian BBM bersubsidi dilakukan perbaikan atau direvisi kembali dengan tujuan membantu masyarakat yang lebih membutuhkan. Ia mengungkapkan, seharusnya pemerintah membatasi penjualan premium yang lebih banyak digunakan oleh kendaraan pribadi.
Sementara itu, untuk solar, konsumennya lebih banyak para kendaraan umum yang melayani masyarakat kecil dan menengah.
Wakil Ketua Umum Bidang Pemberdayaan Daerah Kadin Indonesia, Natsir Mansyur, menilai bahwa kebijakan pembatasan subsidi BBM kurang tepat bagi pelaku usaha jika tidak dibicarakan sebelumnya.
"Bukan hanya berdampak pada transportasi angkutan umum, tapi juga pada harga barang, investasi, dan pengurangan jam kerja," ujar Natsir.
Natsir berharap agar kebijakan ini dicabut terlebih dahulu dan kembali dibicarakan dengan pelaku usaha. Natsir berpendapat, para pelaku usaha akan mengerti kesulitan pemerintah dalam mengendalikan BBM bersubsidi.
Untuk itu, dia menjelaskan, Kadin siap jika kebijakan ini dibicarakan kembali atau dilakukan relaksasi selama kurun waktu satu hingga dua pekan.
Pembatasan Solar di SPBU oleh PERTAMINA |
Menurut Natsir, pengendalian BBM bersubsidi bukanlah urusan BPH Migas dan Pertamina, melainkan otoritas menteri hingga presiden. Sebab, ini terkait pengurangan anggaran negara dalam APBN.
"Jika dibenturkan oleh BPH Migas, Pertamina, dan pelaku usaha tidak akan menyelesaikan masalah," tuturnya.
Namun, Kepala BPH Migas, Andy Noorsaman Sommeng, mengatakan, sebenarnya tidak ada yang dirugikan dengan pengendalian solar bersubsidi, seperti di Jakarta Pusat. Menurut dia, angkutan umum bisa mengisinya di tempat lain sesuai waktu yang ditentukan.
"Tidak ada yang dirugikan, kok. Mereka kan bisa mengisi solar di tempat lain," katanya.
Andy mencontohkan bahwa pengaturan SPBU di Jakarta Pusat tidak boleh menjual solar bersubsidi masih dicoba hingga akhir tahun. "Kalau nanti Organda minta penjelasan, ya, kami akan menjelaskan. Yang penting, mereka kan bisa dilayani di SPBU lain," lanjut Andy.
0 comments:
Post a Comment